[Main RP]Lesson 1: The exam from Headmaster

First topic message reminder :

Pagi yang cerah di fatalite academy. di sebuah ruang kantor yang lumayan besar,seorang lelaki muda,berambut panjang dan berkacamata duduk di balik tumpukan tumpukan kerta putih banyak yang berisi tentang tugas,sekolah,city,dan lain lain

Senyum usil tertera di wajahnya. tampaknya ia sedang merencanakan , atau lebih tepat telah menemukan sebuah rencana iseng untuk semua murid-muridnya. ia memegang beberapa kertas tua yang seperti peta dengan tampang licik

"akhirnya...kutemukan juga....dengan begini...semua rencanaku akan terlaksana..."Quintz tersenyum,dan menyeringai. tertawa di ruang kantornya dengan keras(layaknya tokoh antagonis kali,ya),yang membuat para staff yang di luar ruangannya kaget dan memandang heran pintu kantor Quintz

Hobi anda aneh ya pak...=U='


Kepala sekolahnya ini punya rencana yang aneh-aneh saja...
Tapi yah, Stift tetap menuruti saja perintah pak kepseknya itu...
mungkin saja dia akan menemukkan hal-hal menyenangkan...

Stift hanya tersenyum sinis (grin, maksud ane)

oot: bukannya Steve belum gerak untuk masuk ya...?

Val melihat Ryu dan mengangguk.

"Terimakasih" katanya sambil tersenyum.

"Hhh... baiklah." Val mengambil buntelan kertas itu, lalu beranjak menuju kampus.

"Sensei, mengenai sesuatu ini, harus dirahasiakan pada para siswa, kan?" tanyanya sebelum keluar.

Quintz tertawa
''kau bocorkan dengan melebih-lebihkan boleh,malah tambah seru kan game,nya''ia nyengir setan
''..dan...selebaran itu tentang sebuah game yang akan kulakukan di hutan nanti,''ia membetulkan kacamata dan tersenyum licik
''soal grup,sudah kusiapkan,dan hadiahnya..hanya AKU seorang yang tahu,''quintz menyeringai jahat

"Baiklah... terserah sensei..." ujar Val pasrah, ia berjalan keluar sambil membawa setumpuk kertas yang tadi diberikan Quintz.

-Val out-

Stift juga mengambil tumpukan kertas selebaran tersebut, berniat menyebarkan mereka di seluruh sekolah. Di wajahnya hanya terdapat senyuman yang terlihat sambil berpikir
"pak kepsek enerjik sekali..."



Stift - OUT

Pagi itu Itsuki berjalan-jalan mencari Quintz untuk memberikan kue bikinannya. Ia akhirnya menemukan kantor Quintz dan langsung masuk begitu saja.

"yo.. Quintz.. selamat pagi.." sapanya riang. Ia melihat seseorang lagi di sana tapi ia lupa namanya.

"..ng.. dan selamat pagi juga untukmu.."

Quintz yang sedang nyengir,menoleh ketika itsuki datang,dan menyapanya
''pagi,itchi! Ini untukmu!''ia memberikan buntelan brosur pada itsuki

"eh? apa ini?" tanya Itsuki bingung, Ia menerima brosur itu.

"oh iya, Paman.. ini kue untukmu.." Itsuki menyerahkan kue bikinannya ke Quintz sambil nyengir.

''paman?''quintz mengernyit.
''dasar kau ini! Itu...brosur untuk event yg akan kubuat''ia trtawa riang

"he.." Itsuki mengamati brosur itu.

"lalu? apa yang harus Q lakukan?" tanya Itsuki.

OOC: berhubung saya webe parah menghadapi RPU ini tapi masih pengen ikutan demi kelangsungan RPU(?) makanya, mohon maaf jika ada kesalahan =)) gatau kenapa dari awal ngeliat RPU ini bingung sendiri mau ngapain ==a

Tok Tok...Cklek

Suara ketukan terdengar jelas sebelum pintu masuk ruangan Kepala Sekolah terbuka sepersekian detik kedepan. Orang yang mengetuk pintu tampaknya memang tak berniat menunggu jawaban dari dalam. Hanya untuk formalitas, tak lebih.

Disana berdiri lelaki berambut hitam berantakan dengan headphone yang berdentum sampai terdengar oleh orang-orang didekatnya tergantung dilehernya yang berkulit pucat. Dentuman itu berasal dari musik aliran keras yang diputarnya, seragamnya pun nampak kusut. Tak memperlihatkan sedikit pun sebagai calon penerus tunggal keluarganya. Untuknya, ketukan tadi pun bukan untuk menaikkan reputasi, tapi menghindari beberapa kemungkinan yang akan membuatnya muak, 1) Menghindari tangisan ibunya yang menurutnya berlebihan, 2) Menghindari hukuman yang akan dijatuhkan sekolah padanya apabila ia melanggar aturan LAGI. Kapan aku melanggar aturan?!! Tiap sekolah memang sama saja!!, makinya dalam hati. Dihukum dan jadi budak sekolah lebih merepotkan ketimbang harus bersikap sedikit sopan demi diri sendiri, begitu pikirnya.

"Ini kertas registrasiku. Aku tak perlu melakukan apa-apa lagi kan?" ucapnya dengan suara berat tanpa intonasi dan jeda yang berarti. Mata birunya yang selalu menatap malas setiap hal kini memandang orang itu dingin. Orang yang selalu membuatnya kesal tanpa alasan, siapa lagi kalau bukan Kepala Sekolah yang dianggapnya menjijikkan itu.

OOC: Still in a harsh words, khas Arthady ^^; *ditimpuk* maaf kalo menyinggung

Itsuki mengamati orang yang baru masuk itu.

"..ng.. selamat pagi.." sapa Itsuki sambil tersenyum.

Tak sedikit pun ia bergeming mendengar sapaan dari salah seorang yang ada diruangan tersebut.

"....." Menunggu jawaban dari satu-satunya orang yang diajaknya berbicara tadi terasa sangat lama untuknya.

Quintz menatap Arthady bingung, dan bingung

".......he??re..registrasi apa,ya?"Quintz bingung sendiri.

"Aku tak ingat,maaf"ia tersenyum

Bergeming. Seluruh tubuhnya masih bergeming melihat tingkah kepala sekolah yang oh-sangat-dicintainya itu. Padahal di dalam, rasanya sihir miliknya sudah gencar menggerogoti hati dan kesabarannya pada orang yang satu itu.

"Kalau begitu saya keluar." katanya seraya berbalik menuju satu-satunya pintu keluar sebelum ada yang rusak dibuatnya.


Kangen RP! Unyuu~ xDD Yasudahlah, saya nge-RP sendiri aja dulu. Mumpung bisa online ;9 It's Arthady by the way, harsh words still on the way
STOP HIM TO QUIT!! SOMEBODY! xDD

This is it...

Menghela nafas, pemuda ini berjalan dengan tubuh yang tegap. Pakaian serba hitam seperti biasa dengan hiasan pita biru yang mengikat rambut panjangnya. Sesekali ia membetulkan kacamatanya yang agak miring. Senyuman khasnya selalu terpampang pada kurvanya yang berwarna pucat itu. Bergumam pelan, kemana ia akan pergi? Tentu saja menuju ruang kerja kawannya Quintz. Toh, katanya si pemuda yang-bisa-dibilang-mirip-dengannya itu memiliki sebuah rencana.

Langkahnya terhenti ketika ia berhadapan dengan pintu ruangan yang dituju. Tersenyum, tangannya menyentuh gagang pintu itu dan memutarnya. Tak terkunci.

CKLEK.

"Selamat pagi~" Will tersenyum kepada beberapa orang yang ada disana. Tunggu, beberapa orang? Jangan-jangan Quintz tengah kedatangan tamu? Waduh, bisa gawat kalau begitu. Berdehem sebentar, kemudian kembali menyunggingkan senyuman. "Pagi, Quintz." melambai kecil pada pemuda kacamata itu. Sang pemuda bersurai emas ini menatap sekeliling. Tampak seorang pemuda tengah berusaha keluar dari tempat itu, menepuk bahunya. "Halo, nak. Mau kemana?" lagi-lagi bersikap terlalu ramah. Apalagi dengan panggilan 'nak' sepertinya terlalu berlebihan ya?

Sementara menunggu jawaban pemuda itu, Will tetap tersenyum. Terutama kepada Quintz. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Dalam hatinya sempat ia berfikir seperti ini, 'Awas saja kau, Quintz. Kalau sampai kau berbuat macam-macam, tiada ampun.'

"Oya, Quintz. Ada rencana apa hari ini?" tanya pemuda ini antusias, dalam hatinya ia sudah berniat akan mengekang Quintz jika merencanakan sesuatu yang aneh-aneh. Ia melihat setumpuk brosur yang ada dimeja, brosur apakah itu?

Penasaran, ia mengambil secarik kertas yang ada ditumpukan itu. Membacanya seksama, "Brosur apa ini?" ucapnya sambil memahaminya. Tak lama sebuah senyuman tipis penuh arti tersungging. "Jadi begitu ya..."

Kira-kira, apakah yang dipikirkan oleh seorang Penyihir Mawar ini?

---

OOC: Berinteraksi dengan Arthady Kimaru (menepuk bahunya). ' '

Disaat dirinya berpikir sedikit lagi akan keluar dari lubang buaya, sekarang malah ada harimau yang menghadangnya.

"Halo, nak. Mau kemana?"

"None of your bussiness" ucapnya tanpa berpikir.

Inhale. Exhale. Sabar Arthady, sebentar lagi ini semua akan usai, begitu pikirnya. Yeah, tepat setelah lembar daftar ulang ini kuserahkan pada guru gay itu, problem solved! Mau bagaimanapun, rambut panjang adalah simbol Kefeminiman untuknya. Yang berarti, orang yang baru menepuk pundaknya tersebut setara dengan manusia yang sedang dihadapinya ini.

Mungkin aku harus bersabar sedikit lagi sampai otaknya berkembang lebih baik untuk mengingat kertas ini. Ini lembar daftar ulang for God's sake! Gimana bisa guru itu melupakan hal umum agar seseorang diterima disebuah sekolah?! Dikatupkannya rahangnya lebih keras untuk menahan amarah. Ah.. Mungkin karena lelaki itu sudah lebih dulu membayar uang administrasi sampai lunas makanya orang ini merasa tidak perlu lagi mendataku. Pikirannya tertuju sejenak pada 'lelaki itu' yang tak pernah disebutnya dengan sebutan normal seorang anak. In fact, money rule the world. Lagi-lagi berbicara dalam hati.


Bingo! Tepat dugaan, orang aneh itu akan melakukan sesuatu LAGI. Oh-my-f*cking-god!

Orang-yang-baru-datang itu tampak bertanya pada the-whatsoever-his-highness dan tak berapa lama segaris senyum misterius tampak diwajahnya.

Let the nightmare begin, gumaman dalam hati yang terpikir tepat setelah urat kesabarannya terputus. Finally.

OOC: Ufufufu~~ >3 <-- pengen berantem muahahaha--uhuk
Maaf kalo banyak kata-kata yang salah dan kata yang itu-itu aja (baca: nggak kreatif), soalnya sambil dihantui ortu -,- *lirik-liriktakut

Tak menghiraukan jawaban anak itu, hanya mengangguk. Will meletakkan kertas brosur itu kembali, dan iris beningnya tertuju pada sehelai kertas yang dipegang oleh anak itu. Hm... menurt pengamatannya, sepertinya ada seseorang yang kini naik darah akibat Quintz lagi. Tersenyum tak jelas, dengan sigap langsung mengambil sepucuk kertas yang dipegang.

"Hee... Kertas registrasi?" ucapnya terkekeh pelan, ia membacanya dengan teliti. Sedang dalam keseriusan, sang Vice Principal ini terdiam ketika membacanya. Ya ampun, inikah yang membuat murid ini marah? Menghela nafas, tak lama ia menghampiri si Kepala Sekolah dan meletakannya diatas meja Quintz, "Sepertinya kau terlalu penat hingga melupakan hal penting, Quintz. Apa harus aku yang turun tangan?" tersenyum manis.

Serigala berkedok kucing.

Begitulah Will saat ini. Walau sebenarnya si surai emas ini tak tahu menahu mengenai registrasi semacam ini. Ia berharap bisa bersantai dibalik meja kerjanya atau pergi untuk minum teh Rosella di halaman belakang yang sepi dan biasa menjadi tempat persembunyiannya bersama bunga mawar. Aah, rasanya ingin sekali terbebas dari masalah ini-itu. Well, saatnya bekerja Mr.~

"Kalau tidak diurus, nanti ada yang marah, lho~" ucapnya terkekeh pelan. Tentu saja kata-kata itu tertuju pada seseorang yang-baru-saja-disapa-olehnya. Melirik tajam ditengah senyuman. Di saku jasnya, sudah ada setangkai mawar berwarna merah darah untuk berjaga-jaga. Siapa tahu, ada yang ingin bertarung dengannya?

Quintz yang sedari tadi sibuk mengingat ingat registrasi apa yang dilupakannya, tak sadar jika Will telah masuk ruangannya

'Registrasi... registrasi...'batinnya tak jelas. Wajahnya terlihat serius. Sesaat kemudian langsung tersenyum,

"Aku ingat! Registrasi.. Ah, Will. Pagi"Sapa Quintz santai
"Sejak kapan kau ada di sini?"tanyanya polos , lalu menatap Arthady. Tersenyum lagi.

"Maaf ya, aku baru ingat registrasi apa~"katanya riang.
"Kau orang pertama yang memasukkan registrasi ini, lumayan pintar juga.. padahal brosur belum kesebar.. apa ada yang tertiup angin ya~?"ia bertanya tanya sendiri, lalu sadar atmosfer di sana.

"Atmosfer gak enak. Bagaimana kalau duduk dulu, sambil minum teh?"ia menyiapkan teh rosella untuk tamu tamu di ruang itu.

Tersenyum ceria seperti biasa.

Yang dapat dilakukan saat ini hanyalah tersenyum, tepatnya nyengir. Memang begitulah kebiasaan seorang pemuda bernama lengkap Wilhelm Runnetes itu, tersenyum tak jelas dan cengar-cengir seperti bocah. Ah, akhirnya ia direspon dengan hangat.


Tebar senyuman diruangan itu, akhirnya ada seseorang yang menyadari kedatangannya. Sudah biasa, gumamnya. Ia hanya bisa menatapi sekeliling ruangan yang terdiri dari dirinya, Quintz, serta 2-3 siswa sekolah itu. Yah, entah ada urusan apa tapi kalau boleh jujur, Will tidak tahu menahu mengenai hal mengapa begitu banyak orang diruangan ini.


"Aku? Baru saja masuk." ucapnya santai. "Habis daritadi kau asyik berkutat diruangan sih, jadi aku mampir kesini~" Benar-benar kelewat santai. Ckckck, Wakil Kepala Sekolah satu ini memang Raja Orang Santai. Bergumam sebentar, tenggorokannya terasa kering. Aduh, jadi ingin minum.


Bingo! Akhirnya ada juga yang sadar dengan apa yang kini dibutuhkan olehnya. MINUMAN. Tak lama tercium aroma bunga mawar yang khas sekali dalam ruangan. Tak salah lagi, ini pasti Rosella. Tersenyum kecil, "Terimakasih atas jamuannya, Quintz." pujinya.

Menghampiri Quintz yang kini akan menjadi penjamu mereka semua. Irisnya menatap cangkir berukiran mawar yang ranum itu, memutar cangkirnya. Harusnya terdengar bunyi 'Ngiing~' ketika cangkir itu diputar. Dan baru disadari olehnya, bagian cangkir itu hampir tak berbentuk bulat seperti biasa.

"Rosella... Hmm..." bergumam pelan. Malah beranalogi sendiri, "Suatu hari nanti, kau akan menemukan maknanya..." terlintas begitu saja kalimat filsafat yang entah kenapa terlontar dari bibirnya. Terdiam.

Quintz yang sibuk menuang teh, menatap partner nya dan tersenyum.
"kau itu selalu mengatakan hal hal yang rumit ya, Will?"Quintz tersenyum lembut padanya, lalu duduk di salah satu sofa

"Silahkan diminum dulu,"katanya lembut. Sebenarnya, pria ini sedang memikirkan sesuatu. Ya, sesuatu yang akan ia rencanakan, lumayan kejam memang rencanaya. tapi melihat murid murid sekarang, ia memutuskan untuk tetap melakukan rencananya.

"Nah... aku punya tugas untuk kalian semua. dan untukmu juga, Will..."Katanya lembut

Masih terdiam, ia duduk disofa tepat sebelah Quintz. Memangku cangkirnya itu dan menyeruput tehnya. Masam, tapi enak rasanya. Hanya bisa menatapi isi gelasnya yang tinggal setengah. Masih banyak, gumamnya dalam hati. Warna merah yang cukup ranum untuk secangkir teh mawar ini. Genangan air tehnya memantulkan wajahnya yang sedang melamun.

"Pembunuh! Kau pembunuh!"

"Will! Hentikan semua ini!"

"Tak akan kumaafkan kau, Wilhelm!"

Bergidik, agak gemetar. Ia menarik nafas panjang dan membuangnya. Berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasanya telinganya begitu panas mendengar hal itu. Entah mengapa perasaannya jadi galau. Tak menentu. Kepalanya terasa pusing. Will sampai tidak menyadari apa yang sedang dikatakan Quintz, tak terdengar.



Hah?

Apa yang tadi dikatakan? Mengapa tak terdengar? Ah sudahlah. Kini Will menyeruput tehnya lagi. Enak juga, tapi membuat lidahnya terasa kering. Rasanya yang masam itu bagaikan benang tak terlihat yang mencekiknya. Padahal ini adalah teh favoritnya. Mengapa terasa berbeda?


"Eh? Apanya?" agak sontak kaget, tehnya sampai tumpah sedikit mengenai celana panjangnya. Cukup panas, membuatnya agak mengernyit. Segera meletakan cangkirnya diatas meja, merogoh saku jasnya untuk mengambil sapu tangan. Dilapnya celananya itu dengan saputangan berwarna putih dan terdapat inisial W pada salah satu sisi sapu tangan. "Hehehe, aku ceroboh sekali ya." cengirnya.

Padahal sudah jelas ada yang tak beres pada dirinya. Ada apa denganmu, Wilhelm?

"....." Terdiam, lalu menghela nafasnya. Ia berjalan menuju meja kerja, mengambil brosur brosur yang tergeletak disana

"ini tugas untuk kalian"katanya lembut, meletakkan di meja, dan tersenyum lembut.

"Will, kau sedang banyak pikiran ya?"tanya Quintz lembut, menatapnya khawatir. Dibelainya rambut Will lembut

"jangan banyak pikiran ya~"tersenyum senang, lalu kembali serius

"Ini brosur tentang event yang akan kubuat. Survival game"ia mengedipkan mata penuh arti

"Hee... Kertas registrasi?"
"Sepertinya kau terlalu penat hingga melupakan hal penting, Quintz.
Apa harus aku yang turun tangan?"

Siapa orang ini?! Meski tubuhnya masih bergeming, alisnya sudah mulai berkerut saat orang tersebut mengambil kertas ditangannya.

"Kalau tidak diurus, nanti ada yang marah, lho~"

Oh-ow, alisnya terlihat semakin berkerut tak senang.

"Aku ingat! Registrasi.. Ah, Will. Pagi"

Seperti yang sudah kupikirkan, dia ini idiot. Tidak adakah kamus yang lebih sopan didalam diri seorang Arthady?


Tanpa berbalik untuk melihat wajahnya pun, Arthady sudah tahu kalau kalimatnya ditujukan untuk dirinya. But, who cares sampai lelaki berambut pirang itu lebih dahulu menjawab pertanyaannya.

"......" Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya karena ia memang tak berniat untuk menjawab salah satunya.


"Ha?" seluruh tubuhnya berbalik seketika itu untuk menatap tajam sang Kepala Sekolah. Tak percaya dengan kalimat yang baru saja dilontarkan olehnya. Registrasi apalagi??! Teriaknya tak percaya sekaligus kesal dalam hati.


Lagi-lagi Arthady bergeming seperti orang bodoh menatap kedua lelaki yang menurutnya 'tua' itu bisa-bisanya minum teh disaat begini.

Inhale. Exhale. Rasanya seperti sudah lama tak bernafas jika sudah berhadapan dengan sang-Kepala-Sekolah-yang-dimuliakan-orang-banyak itu, ditambah pula dengan manusia 'abstrak' yang baru datang tersebut.
Inhale. Exhale. Dipikir-pikir, buat apa aku membuang-buang energi untuk orang ini? Sangat pintar memang caranya untuk menenangkan diri. Hanya berdiri mematung, bernafas tenang dan tak lama his Poker face will return.

"Rosella... Hmm..."
"Suatu hari nanti, kau akan menemukan maknanya..."

"............" Pada siapa dia berbicara?

"kau itu selalu mengatakan hal hal yang rumit ya, Will?"
"Silahkan diminum dulu,"

Definitely not me.


"Hah?!!" Baru kali ini Arthady setengah berteriak, seperti memamerkan suara berat khas lelaki miliknya. Gagal sudah usahanya untuk menenangkan diri. Reaksinya itu hampir bersamaan dengan ucapan The Blonde Man, begitu julukan yang dibuatnya.
Seperti itu ia berujar dan hanya berselang beberapa menit, teh ditangan pria tersebut hampir terjatuh. "Hehehe, aku ceroboh sekali ya." ucap pria itu. Sepertinya kelakuan tuan-tuan ini memang sinting dari sananya.

"ini tugas untuk kalian"

What?? Siapa yang mau disuruh olehnya?!! Disuruh adalah menjadi budak, itu prinsipnya. "Aku nggak mau" ucapnya datar namun tatapannya berubah tajam, sama seperti ketika mereka pertama bertemu. Takdirkah? Oh just shut the f*ck up.

"Will, kau sedang banyak pikiran ya?"
"jangan banyak pikiran ya~"

Sekarang apa? Adegan homo yang mau dipertontonkannya pada orang-orang? Oh-so not interested.

"Ini brosur tentang event yang akan kubuat. Survival game"

"Aku tidak pernah setuju untuk jadi pesuruhmu kan?" Ucapan tajam terlontar dari mulut Arthady. I guess there's no such thing as peace with teacher for him.

Quintz melirik sang murid. Terdiam beberapa saat, tampak sedang berpikir. Lalu tersenyum penuh arti.

"Berarti kau tak usah naik kelas saja mau? ini seperti pengganti ujian semester"kata Quintz riang, menunggu reaksi dari sang murid yang paling nakal saat ini